Buku Kenangan
Oleh Arsy Amaliyah*
Dus-dus besar bertumpuk. Debu-debu kecil beterbangan. Sesekali Dina bersin, lalu mengucek hidungnya.
“Pakai masker aja, Dek,” seru Mas Idam.
“Oh iya, Mas.” Dina pun segera berjalan menuju kamar untuk mengambil masker .
Setelah mendapati, Dina duduk sejenak di kursi sudut kamar sembari menarik nafas dan mengeluarkan dengan berat.
Diperhatikannya tumpukan buku pada meja di sampingnya. Beberapa buku masih terlihat bagus dan lainnya mulai usang.
Dina mencoba mengambil buku itu satu persatu. Sesekali membaca judul buku sambil tersenyum, lalu diletakkan ke dalam kardus yang berada di bawah meja.
Satu buku yang membuatnya cukup lama menatap. “Buku Kenangan”. Dibuka kancing buku yang sudah berkarat. Lembar demi lembar dibuka sambil mengambil posisi menyandarkan kepala.
Berbagai potret sahabat semasa SMA terpampang di sana. Bersama kesan pesan mereka selama bertahun mengenal Dina. Semua foto Dina temple dengan rapi. Meski kertas mulai menguning, foto mereka masihlah awet bersama rangkaian tulisannya.
Berbagai kalimat pesan di dalamnya kadang membuatnya tertawa, kadang juga merasa rindu. Rindu kembali pada masa sekolah dulu.
Lalu, sampailah dia pada lembaran akhir pada buku tersebut. Terdapat banyak potret dirinya bersama satu sahabat baiknya. Ya, cukup banyak. Karena teman lainnya hanya memberikan Dina satu foto, namun sahabat ini memberikan bahkan 3 foto.
Sahabat dengan banyak foto itu bernama Irwan. Sahabat yang dikenal sejak masuk SMA dan mulai akrab karena kesamaan jurusan dan ekstrakurikuler yang diikuti.
Semua kebaikan Irwan tiba-tiba saja menguap. Membawa Dina dan perasaannya kembali ke masa lalu.
Foto pertama ada potret Irwan sendiri di bawah pohon sekolah. Dengan gaya cool pura-pura membaca buku membuat Dina tersenyum geli melihatnya. Foto kedua, Irwan bersama Dina juga ibunya saat perpisahan SMA. Irwan memang cukup akrab dengan ibu Dina. Irwan juga sering membantu melarisi jualan ibunya. Foto ketiga, Irwan bersama Dina juga sahabat lainnya saat berada di depan gerbang sekolah. Dalam foto tersebut, Dina sambil menaiki motor butut miliknya, peninggalan almarhum bapak. Motor penuh sejarah yang seringkali bermasalah di saat amat dibutuhkan.
Di waktu pagi itu, Dina seperti biasa mengantar ibunya ke pasar sebelum berangkat sekolah. Dina sudah berseragam lengkap. Sambil menunggu ibunda selesai berbelanja, Dina membaca materi yang akan diujikan hari itu. Yap, hari itu Dina memiliki jadwal try out di sekolah.
Menit berlalu, sudah hampir satu jam ibu Dina tak kunjung muncul. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 6.30. Sudah harusnya Dina mengantar ibunya pulang lalu bergegas ke sekolah. Dina menunggu lagi 5 menit, Ibu Dina belum muncul. Rasa was-was memenuhi pikiran Dina. Lalu ia berlari masuk ke pasar dengan meninggalkan tas juga motornya yang terparkir sembarang.
Dina mencari ibunya ke tempat belanja biasanya. Matanya terbuka lebih lebar dan mengamati setiap orang yang berlalu. Lalu menemukan tas belanja ibunya di pinggir jalan, di depan sebuah pendopo kecil di pasar. Dina berlari kesana.
Alih-alih ingin mengeluh kepada ibunya, Dina ikut lemas melihat sang ibu yang terduduk lemas lagi tampak kesakitan. Rupanya ibu Dina terluka karena ada orang yang tak sengaja lagi terburu-buru lalu menyerempetnya. Ibu Dina takbisa berdiri. Dina merangkul lalu membopong sang ibu ke luar dari pasar.
“Ujianmu bagaimana, Nduk?” tanya sang ibu.
“Tidak apa-apa, Bu.” Jawab Dina dengan mata berkaca-kaca.
“Bu Sri? Ya Allah kenapa, Bu?” Tiba-tiba saja tetangga Dina muncul. Lalu menawarkan bantuan untuk mengantar pulang. Dina cukup lega dan sangat terharu. Dilirik jam di tangan, 7.15. Gerbang sekolah pasti sudah ditutup. Padahal perjalanan ke sekolah butuh 15 menit. Tak peduli jika terlambat dan akan dimarahi, Dina berlari kencang menuju motornya.
“Irwan!” Teriak Dina kaget mendapati dia ada di samping motornya.
“Kamu ngapain?” tanya Dina heran.
“Tadi aku lewat, terus liat tas sama motor kamu di sini tapi kamunya enggak ada. Jadi aku tunggu di sini, khawatir kalau ada apa-apa,” jawab Irwan santai.
“Ya ampun, kamu ikutan telat Irwan!” kata Dina kesal.
“Ya ayok cepetan!”
Dina mencoba menstarter motornya berulang kali tidak bisa. Di engkol juga tida kbisa. Sampai Irwan dan tukang parkir membantu juga tak bisa.
“Lama deh, bareng aku aja!” ujar Irwan, Dina mengangguk sambil menghela nafas.
“Ada-ada aja ini motor!” batin Dina
“Pak, tolong titip motor. Ini kunci kasih ke ibu saya!” teriak Dina kepada tukang parkir pasar, yang sudah lama diakenal.
“Siap, Non!”
Sesampai di sekolah, benar gerbang sudah ditutup. Dina berteriak meminta tolong kepada satpam sekolah, akhirnya dibukakan. Mereka berduapun harus menerima kemarahan satpam lalu guru BK. Awalnya Dina dan Irwan tak diperbolehkan ikut ujian, namun karena Irwan merupakan salah satu murid teladan yang disayangi para guru, akhirnya mereka berdua dibolehkan ujian di ruang terpisah.
“Wan, sorry!” ujar Dina sebelum mengerjakan ujiannya.
“Enggak masalah, Din,” jawab Irwan sambil tersenyum.
Dina tersenyum kecil sambil mengusap foto sahabatnya. Mungkin dulu dia merasakan getaran pada Irwan, namun Irwan pun tak pernah membahas rasa padanya.
“Ehm, ada apa nih senyum-senyum sendiri?” ucap mas Idam, berdiri di depan pintu. Lalu melangkah masuk, duduk di samping istrinya.
“Itu foto siapa, Dek?” lanjut Mas Idam bertanya.
“Sahabatku dulu Mas, waktu SMA,” jawab Dina.
“Oh.” Ucap Mas Idam singkat.
“Eh kenapa fotonya diliatin terus?” Dahi Mas Idam mulai mengkerut.
“Mas cemburu ya?” Sahut Dina sambil tertawa kecil.
“Cemburu maksudnya? Enggak dong, enggak salah lagi!” Keduanya tertawa bersama.
“Oh ya, ini sahabatmu dulu yang ada di foto wisuda itu kan, Dek?”
“Hu um, Mas.” Dina mengangguk.
“Jangan-jangan dia suka sama kamu ya, kok Mas lihat setiap ada foto bareng, pasti dia selalu ada.”
“Dina enggak tau Mas, dia nggak pernah bilang apa-apa ke Dina. Cuma…,”
“Cuma apa, Dek?” Potong Mas Idam.
“Sebelum wisuda, dia pernah bilang mau kasih hadiah buat Dina. Tapi sampai saat wisuda dia datang, dia tidak bawa apa-apa, Mas.”
Mas Idam tertawa terbahak.
“Kok ketawa sih Mas?” tanya Dina heran.
“Ya jelas dia nggak berani kasih, kan waktu wisuda Mas sama orang tua ada di samping Adek terus. Buat pedekate level tinggi, hehe…,” tawa Mas Idam.
“Maksudnya, Mas?” Dina masih bingung.
“Ya dia suka sama kamu, Dek. Masak enggak paham? Mungkin dia berencana buat kasih tau perasaannya ke kamu, Dek. Tapi karena liat Adek sama Mas ngobrol terus bareng orang tua, dia enggak enak. Mungkin loh ya, mungkin!” jelas Mas Idam. Dina hanya ber-oh-ria.
“Kalau dia kasih tau perasaannya saat wisuda itu, apa kamu berubah pikiran, Dek?” tanya Mas Idam.
“Hush, mikir apa sih Mas? Yang sudah lewat berarti memang bukan untuk Dina, Mas. Memang Mas Idam jodoh Dina. Udah ah, malas deh.” Dina menutup buku lalu berdiri.
Dina berjalan menuju pintu ke luar rumah sambil diikuti suaminya. Mas Idam menatap heran apa yang akan Dina hendak lakukan dengan buku itu. Rupanya Dina mendekati tong sampah lalu meletakkan buku kenangan itu ke dalamnya.
“Kok dibuang, Dek?” teriak Mas Idam.
“Itu masa lalu Dina, Mas, masa depan Dina sudah ada sama anak-anak,” jawab Dina sambil tersenyum. Mas Idam tersenyum pula menatap istrinya.
“Udah ah, enggak usah kelamaan geer. Yuk Mas, cepet beres-beresnya. Anak-anak kasian kalau dititip sama mbahnya kelamaan,” gerutu Dina.
“Siap, Dek,” ujar Mas Idam bersemangat. (*)
*Penulis kelahiran kota Sangatta tahun 1995, kini tinggal di Bantul, DI Yogyakarta. Suka menulis, koding, di sela waktu mengurus kehidupan keluarga. Memiliki moto hidup “Berbagi Agar Hidup Ini Menjadi Lebih Berarti” berharap dalam menjalani kehidupan dipenuhi dengan kebaikan dan keberkahan. Cerpen dia selain dipublikasikan di medsos dan blog pribadi juga di komunitas menulis.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow