sastra

sastra

MediaMU.COM

Apr 27, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Senyum Bunda

Suratiningsih

Kabut turun dari lereng bukit menyapa dengan hembusan angin. Dingin menggelayut. Tubuh anak kecil terbalut selimut lembut. Bunda terjaga di sepertiga malam yang begitu sunyi nan tenang. Suara binatang malam memecah keheningan.

Bunda menembus udara dingin untuk mengambil air wudhu. Baginya sepertiga malam adalah kehendak hati yang terbiasa dilakukan. Tak mudah meninggalkan. Sepertiga malam laksana insan sedang jatuh cinta. Tak kuasa menahan rasa untuk selalu bersua.  Mengharap kasih sayang-Nya yang tak terhingga membuat bahagia mengarungi bahtera kehidupan nyata.

Also Read Sepatu Kulit

Dengan suara lembut Bunda membangunkan Ayah. Dielus tubuh Ayah. Tetapi tubuh itu masih enggan bangkit dari tidur. Kedua mata tetap tertutup rapat. Beberapa kali Bunda berusaha membangunkan.

“Ayah…ayo bangun, sudah pagi.”

“Eeemmh….Sudah jam berapa?” Sambil menjulurkan tubuh.

“Setengah tiga…Ayo segera bangun Bunda sudah wudhu.”

Ayah melihat istrinya yang sudah rapi dengan mukenanya.

“Baiklah,” kata Ayah.

Bunda melangkah menuju kamar anak-anak yang masih senyap.

“Kakak….ayo bangun…Kak…KakArfa.”

“Baik Bunda.” Kak Arfa bergegas bangun. Ia meraih daun pintu dan membukanya. Ia melihat Ayah dan Bunda sudah bersiap menunggu di mushola.

Butiran tasbih di tangan Bunda bergerak perlahan mengiringi dzikir. Aroma wangi parfum khas Masjid Nabawi menyebar di mushola ini. Bersih, rapi, harum mewangi. Membuat betah berada di sini. Seperti biasa selepas shalat di sepertiga malam mereka melantunkan istighfar.

Allahumma anta robbi laailaahailla anta. Kholaqtanii waanaa ‘abduka waanaa ’alaa ‘ah dhika wawa’dika mas-tatho’tu. A’udzubika min syarri maa shona’tu. Abu-u laka bi ni’matika ’alayya waabu-u bi dzambii fagh-firlii fa innahu laayagh-firudzdzunuuba illa anta.

 Menjelang adzan Shubuh terdengar, Ayah Bunda mengajak Kak Arfa bersiap menuju masjid. Ayah selalu berpesan: “Fa…jadilah pejuang Shubuh. Belajar meraih shoff terdepan. Biasakan sebelum adzan berkumandang kita sudah datang.”

Ayah dan Bunda menggandeng tangan Arfa menembus udara dingin. Bunda selalu rajin mengingatkan untuk bersedekah di waktu shubuh. Sebelum kaki melangkah masuk masjid, kotak infak menjadi tempat pertama yang kami hampiri. Memasukkan lembaran uang kertas.

Suasanya masjid yang nyaman sangat menyentuh hati. Masjid ini membuat kami jatuh hati untuk selalu menghampiri.

Adzan Shubuh berkumandang. Lantunan suaranya begitu merdu. Nyaman didengar. Pak Harfan, muadzin di masjid kami, pernah meraih juara satu di kancah internasional dalam lomba MTQ. Fasih nan merdu menambah indahnya suasana pagi itu.

 

Jama’ah berdatangan, masuk melalui lima pintu masjid ini. Kampung kami laksana kampung santri. Masjid dipenuhi jama’ah yang antusias beribadah. Takmir masjid begitu profesional menyusun jadwal muadzin dan imam dengan mempertimbangkan kualitas bacaan.

Pak Tolal, salah satu imam masjid kami, memiliki kualitas bacaan layaknya imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Sesekali jama’ah menitikkan air mata saat ayat-ayat suci dilantunkan. Masjid kami yang indah nan megah ini begitu dicintai keluarga jama’ah.

Selepas shalat Shubuh, jama’ah tetap khusyuk berdzikir dan melantunkan ayat-ayat Al Qur’an sampai waktu syuruq tiba. Demikian juga Arfa dan Ayah Bunda, mereka tetap di masjid. Kata Ayah: “Jika kita ingin memperoleh pahala senilai haji, tetaplah di masjid sampai waktu syuruq. Kemudian dirikan shalat syuruq.” Shalat syuruq adalah shalat Dhuha awal waktu.

Mentari pagi mulai menampakkan wajahnya. Sinarnya yang lembut, menyapa wajah kami, yang ke luar dari masjid. Pagi ini begitu cerah. Langit biru diselimuti awan putih. Tampak Gunung Merapi terlihat dari kejauhan. Sejauh mata memandang, menjadikan lukisan alam ciptaan Allah begitu menawan.

Ayah bergegas persiapan berangkat bekerja ke kantor. Bunda dengan gesit mempersiapkan sarapan yang sudah dirancang sebelumnya. Bunda memang paling pandai membagi waktu. Semua kewajiban di rumah diselesaikan dengan sempurna. Arfa dan Ayah sesekali membantu Bunda.

Ritual pagi keluarga ini terlihat sangat kompak dan harmonis. Mereka paham apa yang harus diselesaikan. Hampir tak ada teriakan Bunda di rumah ini. Bunda yang disiplin dan humoris mengalirkan semangat bagi kami untuk terus mandiri. Memulai hari-hari dengan rasa optimis yang selalu Bunda semaikan di hati kami.

Sudah belasan tahun Ayah bekerja di perusahaan itu. Karena gejolak ekonomi yang tak menentu banyak perusahan memiliki kebijakan baru. Pada tahun terakhir ini di perusahaan tempat Ayah bekerja hamper setiap tahun terjadi PHK untuk mengurangi biaya tenaga kerja yang tak sanggup ditanggung perusahaan.

Ayah yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan tiba-tiba menghentikannya. Ada panggilan masuk meminta Ayah menghadap Direktur Utama perusahaan. Ayah segera menuju ruang Direktur Utama.

“Assalamu’alaikum Pak..”

“Wa’alaikumussalam.”

Dengan ramah Direktur menyapa Ayah.

“Silahkan duduk, Pak.”

Ayah melihat ada kesedihan di raut wajah Dirut.

“Bapak…Bapak sudah mengabdi di perusahaan ini belasan tahun. Kami ucapkan terima kasih atas loyalitas dan dedikasi Bapak selama ini. Bapak selalu disiplin dan rapi menyelesaikan tugas-tugas. Tapi Pak, dengan berat hati kami sampaikan bahwa kondisi keuangan perusahaan sedang tidak menentu. Sulit bagi kami untuk mencapai omset seperti tahun-tahun yang lalu,” kata Dirut.

Ayah sudah paham dengan maksud Direktur ini. Iya: PHK. Seketika itu detak jantung Ayah bergetar semakin kencang. Jari-jemari tangannya dingin. Di hatinya terselip kesedihan mendalam. Ayah menarik nafas dalam-dalam berusaha menenangkan jiwa yang bergejolak dalam kesedihan.

Secarik surat yang terbungkus rapi dalam amplop putih diberikan kepada Ayah. Ayah membuka dan membacanya. Ayah menatap wajah Direktur itu. Tampak kesedihan yang sama terbersit dari wajah yang ramah itu. Mereka berpelukan dengan erat, ucapan maaf dan terima kasih saling terucap. Sedih saat harus berpisah, melangkah meninggalkan pekerjaan yang selama ini menjadi sumber penghasilan keluarga.

Hati Ayah terbalut kesedihan. Sesekali dalam perjalanan, Ayah mengucapkan istighfar. Ayah tak tahu reaksi apa yang akan ia lihat jika Bunda tahu bahwa ia tidak berkerja lagi. Ayah semakin sedih. Pohon-pohon rindang berjajar di pinggiran jalan menyapa dengan kesejukan, melindungi Ayah dari panasnya sinar matahari yang menghadang.

Bunda melihat wajah Ayah tak seperti biasanya. Tetap menyambut Ayah dengan senyumnya. Bunda tak berkata-kata. Ia tahu suaminya menyimpan sesuatu yang mengusik hati. Bunda menungu Ayah tenang. Ia biarkan suaminya merasakan ketenangan dulu. “Ah…nanti jika Ayah sudah tidak lelah pasticerita,” batin Bunda.

“Bunda,” Ayah memanggil Bunda dengan suara agak serak.

“Iya Ayah. Ada apa? Ayah sehatkan?” tanya Bunda.


Ayah mulai membuka pembicaraan menceritakan bahwa dirinya di PHK. Perusahaan sudah tidak mampu lagi.

Dengan tenang Bunda memegang bahu Ayah. Tangannya yang lembut membuat Ayah berangsur tenang. Entah kenapa hati Ayah tersiram kesejukan.

Ayah melihat Bunda tetap tenang. Tidak seperti sinetron di televisi, istri marah-marah saat suaminya di-PHK. Tak seperti cerita-cerita yang pernah kubaca. Ah…karena itu hanya buatan sutradara yang beredar di media dan dunia maya. Tapi dunia nyata ternyata lebih indah. Istri tetap tenang mendengar kabar duka.

Selepas shalat ‘Isya berjama’ah di masjid, kami berkumpul di ruang keluarga. Karpet hijau yang halus nan lembut, meja bulat laksana konferensi meja bundar membuat kami duduk dengan nyaman. Bunda menyajikan pisang goreng hangat yang siap kami makan. Mata kami berbinar menyambut sepiring pisang goreng.

Bunda membuka perbincangan, “Arfa… mulai hari ini Ayah belum bekerja lagi.”

“Lho kenapa Yah? Ayah capek, ayah sakit?”

“Tidak Fa..hari ini Ayah di-PHK.”

“Oh…Alhamdulillah.”

“Lho kok Alhamdulillah? Apakah Arfa senang jika Ayah tidak bekerja?”

“Bukan begitu Yah. Kata Bunda jika Allah mengambil sesuatu dari kita, itu artinya Allah akan mengganti dengan yang lebihbaik.” Arfa memeluk Ayah dengan manja.

“Ayah jangan sedih ya. Tetap semangat.”

“Allah pasti kasih rezeki buat keluarga kita Yah. Ayah kan baik…he…he…”

“Alhamdulillah. Ayah bersyukur Allah memberikan anak yang shaleh seperti Kak Arfa.”

Ayah memeluk Kak Arfa. Sambil mengusap kepala Kak Arfa, Ayah berdo’a ”Robbi habli minash- sholihin.”

Bunda bahagia melihat mereka berdua sangat akrab.

“Ayah, Kak Arfa.” Bunda memanggil mereka yang sedang asyik bercengkama.

“Selama ini uang pemberian Ayah untuk kami sudah lebih dari cukup. Eh…bukan hanya cukup, alhamdulillah selalu berlebih.” Bunda menatap Ayah sambil tersenyum.

“Terima kasih ya Yah sudah memberikan yang terbaik untuk kami. Sedangkan hasil kerja Bunda selama ini dari mengajar, menulis artikel, cerpen, puisi di media, dan saat Bunda diizinkan mengisi seminar tidak pernah Bunda pergunakan. Sudah lama Bunda tidak pernah cek saldo rekening Yah…”

“Dan tadi Bunda baru sempat cek rekening tersebut. Alhamdulillah. Insya Allah lebih dari cukup untuk biaya hidup kita. Mungkin Allah tidak rela keluarga kita berhenti dari aktivitas sosial yang sudah rutin kita agendakan. Bunda sangat bersyukur Yah. Insya Allah tahun ini kita tetap bias berqurban. Kita masih diberikan kemampuan untuk bersedekah, tetap memberikan santunan bagi anak-anak panti asuhan.”

Mendengar perkataan Bunda, Ayah semakin kagum.

“Bunda masih ada simpanan berapa?” tanya Ayah.

Bunda tersenyum. “Insya Allah cukup untuk biaya hidup beberapa tahun, Yah .”

“Alhamdulillah,” kata Ayah.

“Selama Ayah berusaha mencari pekerjaan, kita masih bias memanfaatkan uang itu, Yah. Bunda Insya Allah akan tetap berusaha membantu semampu Bunda.”

“Alhamdulillah. Ayah bersyukur hidup bahagia bersama kalian di rumah ini. Benar juga rumahku surgaku. Ayah selalu mendapatkan ketenangan saat bersama kalian. Permasalahan yang terasa berat menjadi ringan saat Ayah pulang.”

“Terima kasih Bunda, terima kasih Kak Arfa, bagi Ayah kalian semua adalah cinta sejati yang takkan pernah tergantikan oleh siapapun. Ayah akan mengenang semua kebaikan kalian yang selalu menumbuhkan semangat juang bagi Ayah. Semoga kebersamaan ini akan terus berlanjut ke surga.” (*)

Penulis tinggal di Jatirejo, Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here