ads

Yakin

Smallest Font
Largest Font
Table of Contents

Arsy Amaliyah

Perkenalkan, namaku Annisa. Aku seorang wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga dan memiliki tiga anak. Sejak kelahiran anak ketiga yang usianya sangat berdekatan dengan anak kedua, aku meminta kepada suami untuk mempekerjaan asisten rumah tangga. Namanya Bi Minah, wanita berusia hampir 50 tahun, dengan hati lembut juga amat santun saat bertutur kata. Kami memilihnya karena melihat kondisi perekonomian Bi Minah yang mungkin sedang kekurangan, dan juga Bi Minah merupakan single parents dari anak satu-satunya, Rahman.

Tak semua hal kuminta kepada Bi Minah untuk dikerjakan, hanya untuk bersih-bersih dan memasak. Sementara anak-anak masih aku yang mengurus. Namun Bi Minah seringkali membantu mengurus keriwehan anak-anak yang notabene tak bisa diam bahkan ketika mereka makan. Bi Minah benar-benar sangat baik, dan amat kusyukuri kehadirannya.

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

Kini, sudah dua tahun Bi Minah menjadi asisten rumah tangga. Bi Minah kami anggap seperti keluarga sendiri. Tapi tidak dengan anaknya.

Entah mengapa, aku benar-benar tak suka dengan Rahman. Tak seperti nama yang disematkan untuknya, Rahman yang kini sudah masuk bangku SMA terlihat amat kasar dengan ibunya.

Saat pagi hari, dia hanya pamit dan meminta uang kepada ibunya, tanpa mencium tangan, tanpa mengucap terima kasih. Pakaian awut-awutan. Suara motornya sangat bising di telinga karena ia modifikasi. Terkadang aku melihat dia bersama teman-temannya merokok di warung depang gang. Saat kutegur, Rahman tak menghiraukan. Saat kusampaikan kepada Bi Minah, jawaban Bi Minah pasti sudah menasihati Rahman tak henti-hentinya.

Aku amat marah, dan puncak kemarahanku saat Rahman mengetuk rumah untuk bertemu ibunya yang saat itu mencuci baju. Bau rokok menyengat dari mulut Rahman. Kuminta untuk menunggu, Rahman malah berteriak makin kencang memanggil Bi Minah. Akhirnya Bi Minah berlari tergopoh-gopoh mendatangi Rahman. Ternyata dia hanya datang untuk meminta uang, 300 ribu. Jumlah yang tak sedikit. Rahman bilang untuk memperbaiki motornya.

Bi Minah bilang tidak punya sebanyak itu, hanya ada lima puluh ribu. Dia membentak kasar ibunya. Aku  yang melihat langsung berdiri di tengah-tengah Bi Minah dan Rahman.

“Hei anak tak tau diuntung!” teriakku di depan muka Rahman.

“Kerjamu minta uang terus sama ibumu!” sambungku lagi.

“Emang kenapa?” saut Rahman dengan kesombongannya. Aku semakin gregetan lalu mengambil sandal. Sementara Bi Minah menghentikan dan terus berkata, “Sudah Bu, enggak usah.”

Akhirnya Rahman pergi dengan muka masamnya. Sementara dadaku masih naik turun menahan emosi.

“Bi, jangan dibiarin anak kayak begitu. Bikin susah orangtua. Sudah capek kerja tapi dia makin tidak tahu diri!” ucapku kepada Bi Minah dengan penuh amarah.

“Saya tau Rahman anak yang baik, Bu,” jawab Bi Minah.

“Anak baik gimana kayak gitu!” cetusku.

“Saya yakin, Rahman anak yang amat baik. Hanya salah pergaulan saja. Saya selalu berdoa semoga Allah membuka pintu hatinya, agar kelak jadi anak sholeh, berbakti pada orangtua,” ujar Bi Minah dengan mata berkaca-kaca. Kupeluk Bi Minah dengan erat, air mataku menetes begitu saja.

“Gusti Allah pasti dengar doa Bibi, Bu. Bibi amat yakin!” sambungnya lagi yang membuatku makin memeluk erat Bi Minah.

***

Lima bulan berlalu, Bi Minah terlihat mulai sering batuk dan mengeluhkan badan meriang. Beberapa hari aku minta Bi Minah untuk istirahat di rumah. Namun qodarullah, Bi Minah benar-benar beristirahat untuk selamanya.

Aku dan suami amat sedih dengan kepergian Bi Minah, bahkan anak-anak ikut menangis saat tahu tak akan ada lagi Bi Minah di rumah.

Aku ikut mengantar Bi Minah hingga ke tempat peristirahatan terakhir, dan aku melihat Rahman disana penuh dengan tangisan. Berulang kali dia berkata, “Jangan tinggalin Rahman, Bu! Rahman minta maaf. Rahman janji jadi anak baik!”

“Penyesalanmu sudah terlambat, Rahman!” batinku dengan kekesalan terhadap Rahman.

Hari-hari terus berganti. Banyak tetangga bahkan suamiku sendiri mengatakan bahwa Rahman sering berada di masjid. Untuk shalat, dan sering merenung sendiri. Lambat laun, Rahman dipekerjakan menjadi marbot masjid oleh takmir.

Rahman yang sekarang sudah benar-benar berbeda. Berperilaku dan berpenampilan lebih baik. Tak ada lagi bunyi motor bisingnya, dia tak merokok lagi, dan yang mengejutkan Rahman menjadi salah satu guru ngaji di masjid.

Banyak tetangga yang awalnya meragukan Rahman, tak ingin anaknya diajar olehnya. Namun Rahman membuktikan, bahwa dia memiliki kemampuan ngaji yang amat baik seperti yang dimiliki Bi Minah dulu. Anak-anak banyak yang ikut mengaji dengannya. Jumlahnya pun semakin bertambah.

Rasa-rasanya, semua perkataan Bi Minah dulu menjadi nyata. Sampai di saat aku sekarang melihatnya, Rahman hadir sebagai pembaca doa dalam acara aqiqah putra keempatku.

Memang tak berhak siapapun menghakimi seseorang. Kelak menjadi apa dan seperti apa, sepenuhnya kehendak Tuhan, juga berkat doa-doa orangtua. (*)

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait

Oh, Virus Korona

Oh, Virus Korona

Janji Suci yang Kunanti

Janji Suci yang Kunanti

Lebaran di Rumah

Lebaran di Rumah

Mukena Ibu

Mukena Ibu

Si Pemurung dan Ahli Makrifat

Si Pemurung dan Ahli Makrifat

Kisah di Perempatan Dekat Rumah

Kisah di Perempatan Dekat Rumah

Senyum Bunda

Senyum Bunda

Yakin

Yakin

Paling Banyak Dilihat

GEGURITAN BEDHUG

GEGURITAN BEDHUG

Yen Panguwasa

Yen Panguwasa

Puisi Untuk Si Bung

Puisi Untuk Si Bung

Geguritan Pisungsung Kagem K.H. Ahmad Dahlan

Geguritan Pisungsung Kagem K.H. Ahmad Dahlan

Sepatu Kulit

Sepatu Kulit

Senyum Bunda

Senyum Bunda

Yakin

Yakin

Buku Kenangan

Buku Kenangan

Kisah di Perempatan Dekat Rumah

Kisah di Perempatan Dekat Rumah