Kisah di Perempatan Dekat Rumah
Oleh: Heru Prasetya
Sudah beberapa hari ini, Mas Darto tiap sore menatap kehidupan sempit di perempatan besar dekat rumah. Ia duduk di pangkalan ojek bersama dua atau tiga pengemudi ojek yang kebetulan ada disitu.
“Nunut ya, Mas,” kata Mas Darto pada hari pertama di situ.
Pengemudi ojek tidak keberataan. Selain sebagian adalah tetangga, juga kehadiran laki-laki setengah baya itu tidak mengganggu kehidupan mereka. Mungkin tanggapan ini akan berbeda jika yang minta ijin adalah sesama ojek dari komunitas lain.
Usia Mas Darto sekitar 55 tahun, jika pun lebih tidak begitu banyak. Anaknya lima, semua sudah mentas, sudah berkeluarga dan tinggal di rumah masing-masing. Tidak berdekatan tapi dalam satu kabupaten dengan orangtuanya. Karena itulah Mas Darto kini menjalani hidup seperti sedia kala, berdua dengan istrinya, Mbak Lastri, yang lebih muda beberapa tahun darinya.
Mas Darto dan Mbak Lastri tinggal di rumah sederhana. Tidak begitu luas, tapi ketika lima anaknya masih satu rumah, mereka nyaman. Tidak longgar tapi tidak berhimpitan. Di dekat rumah ada jalan besar kelas provinsi yang menjadi penghubung utama antarprovinsi.
Entah apa yangmendorong laki-laki ini punya keinginan kuat mendatangi perempatan jalan besar.
“Aku pergi ya Dik.” Kalimat itulah yang selalu ia ucapkan kepada istrinya ketika akan pergi ke perempatan. Ia lebih suka menyebut istrinya dengan kata “dik”, mungkin dirasa lebih lembut dan mesra.
“Perempatan ya?” Kalimat itu juga yang meluncur dari bibir Mbak Lastri sambil tak lupa menebarkan senyum. Mas Darto pun menyambut kata-kata istrinya dengan senyuman sambil menuntun sepeda onthel keluar rumah.
Sambil duduk di pangkalan ojek, matanya seperti tak berhenti menatap kehidupan di perempatan itu. Selain kendaraan berseliweran ketika lampu hijau menyala, juga ada kesibukan lain ketika lampu merah di sisi lain menyala.
Kendaraan tertib berhenti di tempat yang tersedia. Satu per satu kehidupan lain muncul. Manusia silver, laki-laki bercelana pendek dengan seluruh tubuh dilumuri cairan warna silver. Manusia boneka mampang berlenggak-lenggok statis dengan tatapan mata dingin. Pengamen tepuk tangan, bernyanyi meski tak jelas nadanya. Ada juga penjual tahu sumedang, koran, minuman, buah nangka, dan lain-lain.
Kehidupan super sibuk yang hanya muncul sekitar dua menit di tiap-tiap lajur jalan. Recehan demi recehan bergulir ke tangan-tangan mereka diiringi doa yang kadang lebih panjang dibandingkan nilai receh yang diberikan.
Mas Darto tak mau melewatkan sedikitpun kehidupan di depan pandangannya. Kadang ia menggeleng-gelengkan kepala, mengangguk-angguk, berdecak, kadang juga tangannya mengepal, beberapa kali terlihat matanya berkaca-kaca.
Sulit menafsirkan sikap suami Mbak Lastri ini. Bahkan, menjelang Maghrib ketika mau pulang ia menyodorkan pecahan uang kertas kepada pengisi kehidupan perempatan itu, termasuk pengemudi ojek.
Sore ini, wajah Mas Darto terlihat tegang dan cemas. Ia sudah di sudut perempatan sekitar 15 menit sebelumnya. Kepala menoleh ke kanan kiri. Mata seperti dipelotot-pelototkan. Kadang berdiri dan maju ke arah lebih dekat dengan perempatan. Kemudian balik dan duduk lagi. Berulang-ulang ia melakukan seperti itu.
“Ada apa, Mas?” tanya salah satu pengemudi ojek.
Mas Darto hanya menoleh sesaat, tanpa menjawab. Kemudian ia mengulangi persis seperti dilakukan sebelumnya. Dua pengemudi ojek saling berpandangan. Tidak biasanya itu dilakukan. Kecemasan yang muncul di raut wajahnya bertambah.
“Ada apa to Mas?” Pengemudi ojek mengulangi pertanyaannya.
“Manusis silver kok nggak nampak,” kata Mas Darto.
Dua pengemudi ojek hanya menggelengkan kepala. Keduanya seperti menyesal telanjur bertanya, karena ketika ditanya balik tidak bisa menjawab.
Mas Darto kemudian berjalan seperti tergesa ke perempatan. Ia dekati orang yang seluruh tubuh dibungkus boneka mampang, sehingga tidak jelas siapa dirinya.
“Silver kok ra ketok? (Silver kok tidak kelihatan?),” tanya Mas Darto.
Boneka mampang mendekati Mas Darto. “Mulai hari ini dia tidak lagi kesini. Anaknya sakit,” katanya.
Mas Darto semakin tajam menatap lawan bicaranya. Selain kaget, masih ada beberapa pertanyaan yang akan dilontarkan.
“Istrinya meninggal setahun lalu. Karena itulah anaknya tidak ada yang menunggu. Memang, dengan dia tidak disini, pekerjaannya berhenti dan berhenti juga penghasilannya. Tapi ia harus menunggu anaknya,” lanjut boneka mampang.
Dengan langkah lunglai Mas Darto meninggalkan perempatan, pulang ke rumah. Genjotan sepeda tidak setegas sebelumnya. Tubuh dan hatinya lemas seperti tak berdaya. Mbak Lastri melihat perubahan sikap suaminya.
“Manusia silver pensiun, Dik,” katanya kemudian meneruskan kata-kata seperti disampaiakan boneka mampang.
Mbak Lastri memeluk tubuh sang suami. Dibelai, dielus-elus. Lembut dan mesra. Rasa kasih dan saying semakin menebal dalam hatinya. Ia tahu betul perasaan yang sedang menggelayuti suami. Matanya ikut berkaca-kaca.
“Ia tidak pensiun. Ia tidak berhenti, Mas. Insya Allah dia memasuki dunia baru yang semoga saja lebih baik. Kita tidak tahu rencana Tuhan kepada manusia.” Kata demi kata itu disampaikan dengan pelan dan lembut.
Mas Darto tak kuasa menahan titik-titik air mata. Semakin erat dekapan istri ke suaminya. (*)
Nogotirto, 5 Januari 2021
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow