Janji Suci yang Kunanti
Cerpen Sucipto Jumantara*
Sejak SD dulu aku paling suka menjadi dokter kecil. Jiwa kepedulian terhadap sesama sudah terpupuk sejak saat itu. Aku sudah terbiasa pergi ke desa lain untuk melakukan aktivitas sosial. Di bangku SMP aku ikut Palang Merah Remaja sebagai ekstra kurikuler pilihanku. Semakin gemar aku ikut serta dalam kegiatan-kegiatan semacam ini. Hingga aku menjadi pengurus inti bahkan pernah juga terpilih sebagai ketua. Saat SMA, aku pun melanjutkan ikut aktif di PMR yang seolah sudah mendarah daging dalam diriku. Dan lebih serius lagi aku masuk kuliah pada bidang kesehatan di akademi keperawatan jurusan diploma tiga di Kota Yogyakarta. Sebenarnya cita-cita ingin jadi dokter, namun tak mungkin melihat kemampuan ekonomi orang tuaku.
Selesai kuliah aku disarankan orangtuaku ikut tes CPNS. Bapak dan Ibuku sudah lama mimpikan aku menjadi pegawai negeri.
“Nduk, nanti coba ikut tes CPNS ya. Ini Pak Likmu yang di Jakarta kasih kabar akan ada tes untuk daerah Jakarta. Dibutuhkan lulusan keperawatan.” Saran Bapak kepadaku.
“Njih Pak. InsyaAllah.” Jawabku.
Sejak itu aku bersiap-siap. Buku-buku kumpulan tes aku beli dan aku pelajari. Aku pun cerita kepada Mas Anto, calon suamiku. Dia juga mendukung.
Saat waktu ujian tiba, Mas Anto yang mengantarku ke tempat ujian. Setelah beberapa hari. Aku berharap-harap cemas. Menunggu pengumuman.
“Aku selalu doakan kamu. Semoga kamu diterima.” Doa ibuku penuh harap.
“Aamiin” aku pun berharap dapat membahagiakan Ibu dengan itu.
Akhirnya pengumuman kudapatkan. Aku dinyatakan diterima. Menjadi perawat di daerah DKI Jakarta. Aku bersyukur. Namu aku tak bisa menutupi perasaan khawatir. Karena aku harus bertugas di tempat yang jauh dari orang tua. Di daerah yang sama sekali baru buatku. Kepulauan Seribu. Sedang orang tua tinggal di Gunung Kidul.
Hari demi hari aku lalui. Perlahan aku bisa menyesuaikan diri. Aku merasakan ini bukan sebuah masalah. Aku mampu menjalaninya hari-hariku sebagai perawat di rumah sakit di Kepulauan Seribu. Tak seperti yang kubayangkan di awal. Bagiku ini bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah ibadah. Pelayanan bagi masyarakat yang butuh uluran tanganku. Ini adalah duniaku. Panggilan jiwa sejak masih kecil.
Sebelum keberangkatanku menuju tempat bertugas, keluargaku dan keluarga Mas Anto bermusyawarah untuk memutuskan hari pernikahan. Kami sepakat. Setelah enam bulan tugasku. Kami akan menikah. Dengan harapan aku sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjaku dan masyarakat setempat.
Mas Anto adalah sopir bus pariwisata. Kakak kelasku saat SMA dulu. Dia sering bertugas ke luar kota. Daerah Jakarta bukanlah daerah yang asing baginya.
Tahun ini sebelum bulan Ramadhan kami akan melangsungkan pernikahan. Tinggal dua pekan lagi datang waktu yang spesial itu. Waktu yang kami tunggu – tunggu. Segala persiapan sudah kami lakukan. Mulai mencari tempat pesta pernikahan, menyebar undangan dan memesan souvenir.
Namun sekarang aku begitu sibuk dengan pasien yang begitu banyak di rumah sakit. Lebih-lebih karena wabah korona. Aku selalu berdoa, agar diberi kekuatan dan kesehatan sehingga bisa mendampingi para warga yang terpapar. Kasihan mereka dan keluarganya. Aku dan para tenaga medis mulai kewalahan. Warga yang kami tangani semakin banyak.
Di rumah sakit, APD mulai sulit kami dapatkan. Hal ini membuat aku dan petugas lainnya was-was. Baik dokter maupun perawat merasa tidak aman, walaupun begitu kami tetap melaksanakan tugas. Sebagian dari kami panik karena perkembangan yang ada. Salah satu dokter di rumah sakit tempat bertugas telah dinyatakan positif mengidap covid 19.
Dia dokter yang sering aku dampingi dalam bertugas. Aku dan teman-teman yang dalam satu minggu terakhir berinteraksi dengan dokter tersebut harus menjalani tes. Hasilnya cukup membuatku terpukul. Aku dinyatakan terpapar. Aku harus diisolasi. Pikiranku melayang ke wajah Mas Anto.
“Mas, jaga kesehatan selalu ya. Doakan aku juga sehat di sini. Bisa bertugas dengan lancar.” Aku mengirimkan pesan kepada Mas Anto, tapi tak ada balasan. Aku tidak cerita tentang apa yang sedang menimpaku.
“Semoga Mas Anto sehat selalu bersama keluarga. Aku nitip Bapak dan Ibu di rumah ya.” Aku coba mengirim pesan lagi namun belum juga dapat balasan.
Terakhir mendapat kabar kalau Mas Anto baru saja akan pulang membawa rombongan mudik dari daerah Jakarta menuju Gunung Kidul. Mungkin dia baru di perjalanan. Batinku.
Keesokan harinya aku mencoba menelpon. Diangkat oleh temannya. Dia bilang Mas Anto sedang tidak bisa menerima telepon.
Hari berikutnya aku menelpon adik Mas Anto.
“Dik. Gimana kabar Mas Anto? Aku ingin bicara. Tolong ya Dik.”
Aku ingin menyampaikan kemungkinan terburuk. Akad nikah dan pesta pernikahan sangat mungkin ditunda. Melihat kondisiku dan perkembangan penyebaran terkini wabah korona di Indonesia.
“Mbak. Belum dapat kabar? Mas Anto di rumah sakit. Baru saja datang dari Jakarta.”
Mendengar kabar ini. Aku lemas. Aku tahu kondisi Jakarta saat ini. Paling banyak warga yang terpapar covid-19 dari daerah ini. Aku salah satunya. Kini aku mendengar berita tentang Mas Anto. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Mas Anto untuk sementara waktu tidak boleh dijenguk, Mbak.” Kata Adik Mas Anto melalui handphone. “Kamipun sekarang harus lebih banyak berada di rumah.” Katanya lagi. []
*Penulis kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah ini adalah Dosen Universitas Ahmad Dahlan. Kini tinggal di Kasihan, Bantul, DIY. Karya sastra dalam bentuk cerpen dan puisi dimuat di beberapa media cetak dan online.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow